KILASTOTABUAN.COM, JAKARTA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai Myanmar berisiko menjadi negara “penyebar super Covid-19” di kawasan Asia Tenggara menyusul infeksi virus corona yang terus melonjak di negara itu.
Pelapor Khusus PBB soal HAM Myanmar, Tom Andrews, mengatakan bahwa prediksi itu didasari pada situasi Myanmar yang sedang menghadapi gelombang penularan Covid-19 paling parah dan di saat bersamaan krisis politik dan ekonomi akibat kudeta militer masih berlangsung.
“Myanmar menjadi penyebar super Covid-19 dengan varian Delta yang sangat mematikan ini dan bentuk penyakit lainnya yang sangat berbahaya, sangat mematikan, sangat menular. Ini sangat, sangat berbahaya dengan berbagai alasan,” kata Andrews dalam sebuah wawancara dengan The Guardian.
Andrews mengatakan komunitas internasional, termasuk negara tetangga Myanmar, perlu bertindak cepat mengulurkan bantuan atau mereka akan menerima konsekuensi dari gelombang penularan Covid-19 yang tidak terkendali di dekat perbatasan.
“Ini hanya fakta bawah Covid-19 tidak melihat kebangsaan atau perbatasan dan ideologi partai politik. Ini adalah penyakit yang memiliki peluang membunuh yang sama. Ini adalah wilayah rentan terhadap penderitaan yang lebih besar karena Myanmar menjadi negara penyebar (Covid-19) super,” katanya.
PBB khawatir karena sekitar sepertiga populasi dunia tinggal di negara tetangga Myanmar, seperti Bangladesh, China, Rusia, dan negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Kondisi di Myanmar juga kian parah. Akibat kudeta 1 Februari lalu, banyak rumah sakit pemerintah di penjuru negeri hampir tidak berfungsi optimal.
Para dokter melakukan aksi mogok kerja memprotes junta militer. Banyak dokter terpaksa merawat pasien secara diam-diam karena terus menghadapi ancaman kekerasan dan penangkapan militer.
Selain minim tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan Myanmar juga kekurangan oksigen dan ventilator yang merupakan salah satu alat utama perawatan pasien Covid-19, dan peralatan medis serta obat-obatan lainnya.
Banyak warga Myanmar juga memasang bendera kuning untuk menandakan kematian dan bendera putih sebagai tanda memohon bala bantuan seperti makanan serta obat-obatan.
Sistem kesehatan Myanmar yang tumbang juga diperparah dengan program vaksinasiCovid-19 yang terhenti.
Baca Juga: Demi Keluar Indonesia WN Australia Rela Naik Kapal Phinisi
Andrews mengatakan jumlah pasti kasus Covid-19 dan kematian di Myanmar menjadi tidak jelas. Menurutnya, dokter dan wartawan yang menjadi target rezim membuat informasi akurat terkait situasi Covid-19 di Myanmar sulit didapat.
Data Kementerian Kesehatan dan Olahraga di bawah pimpinan junta militer menyatakan 4.629 orang meninggal dunia karena Covid-19 sejak 1 Juni lalu.
Sampai saat ini, statistik mencatat total ada lebih dari 284 ribu kasus Covid-19 dengan 8.000 kematian di Myanmar. Banyak pihak menganggap angka itu terlalu rendah.
“Kami tahu bahwa ini adalah lonjakan (penularan Covid-19) ke atas. Dan peningkatan ini sangat cepat, peningkatan yang sangat cepat,” kata Andrews.
Selain ancaman kematian karena Covid-19, Andrews mengatakan bahwa warga Myanmar juga dihantui kebrutalan aparat keamanan.
“Di Yangon, sudah biasa melihat tiga jenis antrean. Satu antrean menarik uang di ATM, satu antrean yang mencari pasokan oksigen – di mana ini sangat berbahaya karena orang-orang ditembak pasukan keamanan karena mengantre cari oksigen – dan yang ketiga adalah antrean (jasad) di krematorium dan kamar mayat,” kata Andrews.
Dalam rilis Komisioner Tinggi HAM PBB (OHCHR) pada 14 Juli lalu, Andrews juga menyerukan Myanmar darurat bantuan internasional karena berbagai faktor memperburuk situasi Covid-19 di negara tersebut.
“Ledakan kasus Covid-19, termasuk varian Delta, sistem kesehatan Myanmar yang kolaps, dan ketidakpercayaan yang mengakar dalam masyarakat Myanmar terhadap apa pun yang terkait junta militer merupakan badai yang benar-benar dapat memicu banyak nyawa hilang jika tanpa bantuan internasional,” ucapnya. (*)
Sumber: CNN Indonesia