KILASTOTABUAN.COM, JAKARTA — Ribuan warga Thailand turun ke jalanan Ibu Kota Bangkok menggelar demonstrasi untuk menuntut reformasi kerajaan, pada Minggu (14/11).
Para peserta aksi melabrak barisan polisi yang menggunakan tameng. Mereka membawa poster bertuliskan “Tak ada monarki absolut” dan “Reformasi bukan Penghapusan (monarki)”.
“Kekuasaan Raja yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir menarik Thailand menjauh dari demokrasi dan kembali ke monarki absolut. Ini adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa negara ini harus diperintah oleh sistem di mana setiap orang setara,” kata satah satu pengunjuk rasa seperti dikutip AFP.
“Kata ‘reformasi’ tidak sama dengan pembatalan. Anda (Pemerintah) hanya ingin melakukan hal-hal yang Anda mau,” kata peserta demo lainnya, Peeyawith Ploysuwan.
Kerajaan, kata Ploysuwan, melihat orang-orang yang berbeda pendapat sebagai orang jahat.
Ia lalu menegaskan, “Bagaimana kita bisa maju?”
Sementara itu, juru bicara kepolisian Thailand menuturkan ada tiga orang peserta aksi yang mengalami luka-luka. Jubir tersebut juga menyebut penyelidikan tengah dilakukan terkait insiden itu.
Massa aksi pernah melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Jerman pada Oktober 2020 lalu. Ketika itu, mereka menuntut Berlin menyelidiki apakah Raja Maha Vajiralongkorn memiliki bisnis di sana.
Sementara itu, protes yang terjadi baru-baru ini, merespons putusan pengadilan yang menganggap seruan reformasi inkonstitusional dan dirancang untuk menggulingkan kerajaan.
Reformasi itu diajukan oleh tiga pemimpin protes pada Agustus 2020 lalu.
Sejak aksi protes dimulai pada 2020 lalu, setidaknya 157 orang didakwa di bahwa aturan itu.
Aksi semacam itu membuat hukum lese majeste, yang menindak warga yang dinilai menghina kerajaan, semakin tampak tak berpihak pada rakyat.
Pasalnya, mereka yang dianggap mencemarkan nama baik monarki akan dijatuhi hukuman dengan maksimal ancaman 15 tahun penjara. (*)
Sumber: CNN Indonesia