Tanah masih basah, jalanan Kotamobagu terlihat sunyi, berbagai kendaraan para pekerja terparkir di depan gedung kantor. Waktu dihandphone terlihat tiga puluh menit lagi menjelang waktu salat Magrib tiba. Usai memastikan waktu, ibu jari menggeser ke aplikasi Messenger untuk memastikan lokasi yang akan dituju. Terlihat, cukup dengan semenit kendaraan bisa dipacu sampai ke tempat tujuan.
Setelah sebelumnya janjian dengan salah satu Transpuan di Kotamobagu, kini sampai di depan salah satu SMK di Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara. Pandangan pun mulai mencari petunjuk nama salon yang ia berikan, semenit berlalu belum juga menemukan salon yang dimaksud, terlihat beberapa kendaraan roda dua terparkir di depan mata, akhirnya nama salon itu ternyata berada tepat di depan pandangan.
Tiga orang lelaki berada di teras salon tersebut, dua orang duduk berhadapan sambil ngobrol, dalam hati pasti mereka adalah pengunjung di sini. Seorangnya lagi, memakai celana pendek, baju berlengan panjang berwarna abu-abu, serta setengah dari rambutnya berwarna biru, ia menegur dan bertanya maksud kedatangan saya.
Setelah menceritakan maksud kedatangan saya, dari arah belakang lelaki itu memanggil R (39) pemilik salon yang saya datangi, sebelumnya ia berkomunikasi dengan saya melalui media sosial Facebook, setelah saya membaca postingannya terkait diskriminasi yang dialami temannya sesama Transpuan, saat ingin mengikuti salah satu kegiatan di Kotamobagu yang melibatkan masyarakat umum beberapa waktu lalu.
Kepada saya, R menuturkan kronologi tentang temannya yang ingin ikut meramaikan kegiatan tersebut, akan tetapi ditolak oleh panitia hanya karena Ia Transpuan, sebagai sesama Transpuan tentunya R tidak menerima penolakan tersebut, apalagi dengan kalimat yang tidak sesuai dengan persyaratan yang disampaikan panitia melalui media sosial.
Kegiatan seperti itu tentu dinantikan oleh mereka Transpuan, sebab selama dua tahun terakhir mereka juga merasakan dampak Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia termasuk Kotamobagu. Dengan niat turut meramaikan, Transpuan ini justru mendapatkan penolakan dari panitia dengan alasan kegiatan tersebut hanya bagi jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Meskipun, dalam pamflet yang disebarkan panitia melalui media sosial tertulis untuk umum, tidak disebutkan bahwa kegiatan tersebut hanya untuk gender laki-laki dan perempuan.
“Tidak apa-apa juga kalau bisa ikut atau tidak, tidak masalah bagi kami. Hanya saja waktu itu teman memperlihatkan chatingan dari salah satu panitia, kami juga menanyakan maksud dari chatingan itu apa, sebab di chatingan itu tidak membawa oknum salah satu dari kami. Tetapi lebih ke semua pihak kami, mereka menyampaikan bahwa mereka tidak butuh seperti kami,” kata R, Kamis (1/9/2022).
“Dipercakapan itu dia mengatakan, mereka tidak perlu kami yang belok (transpuan). Karena sebentar kami hanya akan menjadi lelucon di situ (kegiatan yang dimaksud),” katanya.
Dengan percakapan tersebut, R memilih menulis kekecewaannya di media sosial, oknum panitia tersebut pun menyampaikan kata maaf secara pribadi kepada R dan teman-temannya sesama Transpuan.
Pertemuan perdana dengan R tak membuat saya canggung, kami mengobrol asyik, sesekali obrolan mereka balut dengan candaan. Obrolan pun sudah tak lagi soal kegiatan sebelumnya yang menjadi sebab saya bertemu dengan mereka, perlahan mereka mulai menceritakan kisah yang sering mereka alami.
Hidup Mandiri Menjadi Tumpuan Keluarga
Transpuan sering mengalami diskriminasi yang begitu panjang, baik itu sejak ia mulai memilih menjadi seorang Transpuan ataupun setelah ia hidup dengan gender pilihannya.
Diskriminasi, pelecehan seksual dan kekerasan sangat rentan dialami mereka Transpuan. Semua itu terjadi karena stigma negatif yang melekat pada Transpuan, karena kurangnya pendidikan akan keberagaman, ini juga membuat Transpuan sering mendapatkan penolakan dalam sosial. Penolakan kepada Transpuan tidak hanya datang dari sosial masyarakat, akan tetapi penolakan juga terjadi di lingkungan orang-orang terdekat, yakni keluarga sendiri.
“Sejak awal diskriminasi dan penolakan sudah saya alami. Karakter perempuan terlihat dari dalam diri saya sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Hanya saja penolakan besar itu terjadi saat saya sudah SMA, karena masa SMA itu masa transisi,” kata R.
“Saya ingat waktu itu di sekolah sangat sering terjadi pemisahan siswa berdasarkan jenis kelamin, disitu mulai ada kegalauan, saya ini sebenarnya bagaimana? Kami dipaksa bergabung dengan laki-laki, meskipun fisik kami seperti seorang laki-laki, akan tetapi batin kami tidak sesuai. Sejak itu saya berani memilih, dengan pertimbangan-pertimbangan luar biasa di saat itu,” tambah R.
Perseteruan dengan keluarga kata dia terjadi sejak SMA, karena di masa itu R mulai berani mengambil sikap untuk memilih orientasi seksualnya sebagai seorang Transpuan, dengan pilihan itu ia mencoba meyakinkan keluarga bahwa pilihan hidup yang akan ia jalani adalah pilihan yang akan ia pertanggung jawabkan.
“Saya mencoba bangkit dan menunjukan kepada keluarga bahwa apa yang saya pilih ini tidak salah. Ini adalah jalan hidup kami, kami mampu hidup sendiri dan mampu menghidupi keluarga melalui pekerjaan kami,” kata R.
Sebagian besar Transpuan di Kotamobagu mengalami penolakan dari keluarga. Seperti yang diungkapkan W (32), ia turut menceritakan hal yang sama terjadi dalam dirinya, keluarga yang diharapkan selalu memberikan dukungan ternyata tidak ketika mereka memilih menjadi seorang Transpuan.
“Kata orang tua, kamu dilahirkan sebagai seorang laki-laki, bukan perempuan. Kenapa kamu menjadi seperti ini,” ucap W yang duduk disamping R, Kamis (1/9/2022).
Meskipun mengalami penolakan dari orang-orang terdekat, baik R ataupun W sampai saat ini mereka masih tetap memilih menjadi seorang Transpuan. Pengalaman panjang itu menjadikan pelajaran bagi mereka untuk sebisa mungkin menjadi seorang yang mandiri dan bisa bertahan hidup ditengah gempuran stigma negatif yang melekat dalam diri seorang Transpuan.
“Saya lebih ditekan dan dipandang remeh, saya akan lebih menunjukan apa yang bisa saya kerjakan, serta mengasah kemampuan yang saya miliki. Transpuan di kotamobagu sembilan puluh persen adalah pekerja, di beberapa tempat kami bekerja sudah ada banyak orang yang kami hidupi, ada orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan kami ajak sampai bisa memiliki keahlian, yang kami ajak itu saat ini sudah bisa memiliki penghasilan sendiri,” ucap R.
Ia dan teman-teman Transpuan di Kotamobagu terus berjuang dengan segala kemampuan yang mereka miliki, dengan harapan keberadaan mereka akan diterima serta mendapatkan tempat dan hak yang sama baik dilingkungan keluarga, sosial, serta pemerintah, dan mendapatkan hak yang sama di ruang publik.
“Tanpa disadari Transpuan di Kotamobagu delapan puluh sampai sembilan puluh persen menjadi tulang punggung keluarga, penunjang perekonomian keluarga. Dengan memiliki penghasilan, keluarga mulai menerima pilihan kami, tetapi sebelumnya sangat tidak menerima, sedangkan sudah ada penghasilan masih terjadi penolakan dari keluarga. Tetapi saya sering sampaikan di situ apa yang saya lakukan ini untuk keluarga, bukan hanya untuk kepentingan saya pribadi,” tambah R.
Diskriminasi dan Merdeka Atas Diri Sendiri