KILASTOTABUAN.COM, JAKARTA — Kepolisian Provinsi Qinghai, China, menahan seorang pria asal Tibet karena menentang kebijakan Bahasa Mandarin yang diberlakukan di sekolah-sekolah daerahnya.
Pria berusia 23 tahun itu diidentifikasi bernama Loten. Ia ditahan pada 20 Desember di daerah Matoe di Prefektur Otonomi Tibet Golog setelah mengunggah opini di media sosial mengenai penggantian buku teks berbahasa Tibet dengan Bahasa Mandarin di sekolah-sekolah lokal.
“Dia mengatakan bahwa kebijakan China pada akhirnya akan memutuskan anak muda Tibet dari bahasa mereka sendiri di masa depan,” kata seorang sumber kepada Radio Free Asia pada Rabu (12/1).
Loten saat ini dikabarkan ditahan di lokasi yang tidak diketahui di ibukota provinsi Qinghai, Xining.
“Keluarganya hanya diberitahu tentang penangkapannya melalui telepon dan belum diizinkan untuk menemuinya. Mereka diberitahu bahwa Loten sekarang sedang diberikan pendidikan politik,” ucap sumber itu.
Per 21 September 2021, bahasa Tibet diketahui telah dikesampingkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Tibet di Qinghai.
Sekolah-sekolah di Tibet saat ini memberikan fokus lebih kepada kelas-kelas dalam bahasa Mandarin tertulis dan keterampilan berbicara bahasa Mandarin dasar.
“Banyak orang tua Tibet prihatin dengan perubahan ini dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah China, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar sumber tersebut menambahkan.
Sebelumnya, pihak berwenang Qinghai diberitakan telah menahan dua siswa Tibet yang diidentifikasi sebagai Gyuldrak dan Yangrik di daerah Darlag Golog pada Agustus lalu.
Penangkapan tersebut disebut karena kedua pelajar itu menentang rencana penggunaan bahasa Mandarin sebagai satu-satunya bahasa pengantar di sekolah-sekolah Tibet.
Kebijakan pengajaran bahasa China sendiri memang telah menimbulkan pertentangan di antara masyarakat Tibet di provinsi tetangga, Sichuan. Banyak sekolah swasta Tibet di Sichuan yang ditutup dan anak-anak sekolah dikirim ke sekolah pemerintah.
Terkait hal ini, para orang tua Tibet harus menelan kekhawatiran akan hubungan anak-anak mereka dengan bahasa asli dan budaya Tibet.
“Sudah terbukti dalam beberapa tahun terakhir bahwa pemerintah China tidak memiliki rencana untuk melonggarkan kebijakan garis keras serta kontrol ketat di Tibet,” kata Namgyal Choedup, perwakilan di The Office of Tibet yang berbasis di Washington D.C, Amerika Serikat.
“Orang-orang Tibet teguh dalam keyakinan mereka untuk melindungi identitas Tibet mereka, tetapi inisiasi bahasa dan agama Tibet oleh pemerintah China menimbulkan ancaman bagi kelangsungan budaya dan nilai-nilai Buddha Tibet,” tuturnya.
“Kami telah mendesak pemerintah AS dan pejabat AS dari waktu ke waktu mengenai situasi yang memburuk di Tibet ini. Pada kenyataannya, kebijakan yang diterapkan di Tibet oleh pemerintah China lebih banyak merugikan daripada menguntungkan bagi orang Tibet,” kata Choedup.
Upaya Partai Komunis China untuk menggantikan pendidikan bahasa lokal dengan pengajaran dalam bahasa Mandarin telah menimbulkan kemarahan tidak hanya di kalangan orang Tibet, tetapi juga di komunitas etnis minoritas Musim Uyghur yang berbahasa Turki di Xinjiang dan di Mongolia Dalam di China utara.
Rencana untuk mengakhiri penggunaan bahasa Mongolia di sekolah etnis Mongolia memicu boikot sekolah selama berminggu-minggu, protes di jalanan, serta tindakan keras di seluruh wilayah oleh pasukan anti huru-hara dan polisi keamanan negara pada musim gugur 2020.
Dikutip Radio Free Asia, kejadian ini bahkan digambarkan sebagai ‘genosida budaya’ oleh etnis Mongolia.
Tibet pernah menjadi negara merdeka yang berdaulat. Namun, 70 tahun lalu, Tibet diserbu dan dipaksa menyatu dengan China.
Hak bahasa telah menjadi fokus khusus masyarakat Tibet untuk menegaskan identitas nasional mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Mereka menggelar kursus bahasa yang diselenggarakan secara informal di biara-biara dan kota-kota yang dianggap sebagai “perkumpulan ilegal” yang berujung pada penangkapan para tenaga pendidik oleh otoritas China. (*)
Sumber: CNN Indonesia