KILASTOTABUAN.COM, JAKARTA — Korea Utara dilaporkan telah mengeksekusi setidaknya 27 orang di hadapan publik selama satu dekade Kim Jong-un memimpin negara itu.
Data itu terangkum dalam laporan yang dirilis organisasi hak asasi manusia Korea Selatan, Kelompok Keadilan Kerja Transisi (TJTWG).
Dalam laporan berjudul “Memetakan Pembunuhan di Bawah Kim Jong-un: Tanggapan Korea Utara terhadap Tekanan Internasional” itu, mereka mewawancarai 683 pengungsi Korea Utara yang masuk ke Korsel sejak 1990 hingga 2019.
Berdasarkan kesaksian responden, setidaknya 27 eksekusi publik terjadi sejak Kim Jong-un menjabat dari 2011 hingga 2018. Mereka yang dieksekusi diduga melanggar aturan yang diterapkan Korea Utara.
Tujuh orang dituduh menonton dan mendistribusikan video Korea Selatan, lima orang terkait pelanggaran narkoba, tiga orang terkait kasus pembunuhan atau percobaan pembunuhan, dan tiga orang terkait kasus pencabulan.
Radio Free Asia (RFA) juga memantau sejumlah eksekusi publik juga digelar sepanjang 2020 lau. Pada Agustus 2020, Korut secara terbuka mengeksekusi enam orang, termasuk empat pejabat partai, lantaran mengoperasikan jaringan prostitusi yang melibatkan mahasiswi.
Kemudian, pada Oktober 2020, pihak berwenang secara terbuka mengeksekusi seorang kapten armada penangkap ikan karena menyalakan radio RFA.
Pada Desember, pemerintah Korea Utara secara terbuka mengeksekusi penyelundup karena melanggar tindakan pencegahan Covid-19 dengan melintasi perbatasan China-Korea.
Menurut laporan TWJG, metode utama eksekusi yakni ditembak oleh regu tembak. Terdapat tiga tentara yang masing-masing melepaskan pelurunya sebanyak tiga kali. Total, sembilan tembakan dilepaskan untuk membunuh para tahanan.
Direktur Eksekutif TJWG, Lee Younghwan, mengatakan bahwa alasan paling umum untuk eksekusi publik berubah-ubah di setiap kepemimpinan. Selama pemerintahan kakek Kim Jong-un, Kim Il-sung, banyak eksekusi politik dilakukan untuk merebut kekuasaan.
“Sementara itu, kesulitan ekonomi tercermin selama rezim Kim Jong-il, di mana ‘eksekusi ekonomi’ dilakukan,” ujar Lee.
Di masa Kim Jong-un, Korut melegalkan eksekusi mati warga yang menonton video Korsel melalui Undang-Undang tentang Penolakan Pemikiran dan Budaya Reaksioner.
“Dan eksekusi ini telah dimulai. Eksekusi karena menonton video tidak bisa diterima dari sudut pandang internasional,” katanya.
Lee menilai, pemerintah Korea Utara menggunakan eksekusi publik sebagai peringatan untuk masyarakat. Sementara itu, mereka melakukan eksekusi pribadi untuk tindakan yang mengancam rezim atau pemimpin.
“Eksekusi publik untuk menonton video Korea Selatan, prostitusi, dan narkoba. Korea Utara ingin menyembunyikan kejahatan yang bisa dianggap sebagai pengungkapan kelemahan sistem, sehingga eksekusi publik untuk kejahatan yang tidak mengganggu otoritas Kim, dan mereka yang menentang otoritasnya dirahasiakan (eksekusi rahasia),” kata Lee.
Laporan itu menyatakan, di bawah kepemimpinan Kim Jong-un, hukuman mati di hadapan publik tampaknya menurun, tetapi eksekusi rahasia terus berlanjut.
Menurut laporan TJWG, dari proyek pemetaan pada tahun 2017 dan 2019, eksekusi publik menurun di kota perbatasan utara tengah Hyesan, area fokus dalam laporan tersebut.
Eksekusi publik di sana biasanya dilakukan di daerah-daerah yang dipantau internasional,seperti perbukitan dan pegunungan di sekitar Lapangan Terbang Hyesan, atau di ladang-ladang yang jauh dari pusat kota. Karena mudah dipantau internasional, eksekusi di daerah itu sulit diterapkan kembali.
“Hasil ini menunjukkan rezim Kim Jong-un lebih memperhatikan penguatan pengawasan internasional terhadap situasi hak asasi manusia,” kata peneliti TJWG, Ahyeong.
Meski demikian, hal tersebut bukan berarti ada perbaikan soal situasi hak asasi manusia di Korea Utara. Menurut Ahyeong, eksekusi pribadi masih kerap dilakukan.
“Eksekusi pribadi harus dipantau secara ketat,” kata Ahyeong. (*)
Sumber: CNN Indonesia